Saturday, 9 November 2019

MANUSIA DAN KEBUDAYAAN: TRADISI GREBEG, KERATON YOGYAKARTA



Keraton Yogyakarta adalah obyek utama di Kota Yogyakarta. Bangunan bersejarah yang merupakan istana dan tempat tinggal dari Sultan Hamengku Buwono dan keluarganya ini berdiri sejak tahun 1756. Keraton Yogyakarta dengan segala adat istiadat dan budayanya menjadi ruh kehidupan masyarakat Yogyakarta. Keraton Yogyakarta juga menjadi obyek wisata utama di Kota Yogyakarta baik dari sisi peninggalan bangunannya maupun adat istiadat yang ada di dalamnya. Di Keraton Yogyakarta di samping dapat dinikmati keindahan masa lalu melalui arsitektur bangunannya, dapat juga dinikmati kesenian tradisional yang disajikan setiap harinya di Bangsal Manganti. Saat ini Keraton Yogyakarta ditempati oleh keluarga Sultan Hamengku Buwana X yang menjadi raja sekaligus gubernur di Yogyakarta.
Selain memiliki kemegahan bangunan, Keraton Yogyakarta juga memiliki suatu warisan budaya yang tak ternilai. Diantarannya adalah upacara-upacara adat, tari-tarian sakral, musik, dan pusaka. Salah satu pacara adat yang terkenal adalah Grebeg. Upacara yang berasal dari zaman kerajaan ini hingga sekarang terus dilaksanakan dan merupakan warisan budaya Indonesia yang patut dilestarikan.


Grebeg Keraton

Tradisi Grebeg adalah salah satu tradisi kerajaan yang tetap lestari hingga saat ini di Yogyakarta. Tradisi ini telah berlangsung sejak penyelenggaraan pertama kalinya oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792).



Istilah Gerebeg atau Grebeg sendiri berangkat dari peristiwa Miyos. Miyos adalah peristiwa keluarnya sultan dari dalam istana bersama keluarga dan kerabat dalam rangka memberikan gunungan makanan kepada rakyatnya.

Proses keluarnya sultan dan keluarganya tersebut diibaratkan seperti tiupan angin yang sangat keras sehingga menimbulkan bunyi “Grebeg…Grebeg”. Disebutkan juga istilah Hanggarebeg yang dimaknai sebagai iring-iringan Raja.

Jenis Tradisi Grebeg Keraton

Dikatakan bahwa Upacara Adat Grebeg ditujukan untuk memenuhi kewajiban sultan dalam menyebarkan dan melindungi Agama Islam. Tradisi ini diadakan 3 kali dalam setahun yang bertepatan dengan hari –hari besar Agama Islam.
Penamaan ketiga Upacara Grebeg juga disesuaikan dengan hari-hari besar dalam Islam yakni Grebeg Syawal, Grebeg Maulud dan Grebeg Besar.
  • Grebeg Syawal diadakan sebagai ungkapan rasa syukur pihak keraton setelah melewati bulan puasa yang sekaligus ditujukan untuk menyambut datangnya bulan Syawal.
  • Grebeg Maulud dilaksanakan untuk merayakan Maulud Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
  • Grebeg Besar berlangsung pada perayaan Hari Raya Idul Adha di bulan Dzulhijjah yang dalam penanggalan jawa disebut sebagai bulan “Besar”.

Gunungan Dalam Tradisi Grebeg


Tradisi Grebeg sangatlah identik dengan keberadaan gunungan yang dijadikan simbol kemakmuran Keraton Yogyakarta. Gunungan adalah makanan dalam jumlah besar dari berbagai hasil bumi yang disusun kerucut menyerupai gunung yang nantinya akan dibagikan kepada rakyat.
Terdapat enam jenis gunungan yang masing-masing memiliki perbedaan dalam bentuk dan isinya :

  • Gunungan Dharat dipuncaknya terdapat kue besar berwarna hitam yang dikelilingi oleh kue ketan berbentuk lidah (ilat-ilatan)
  • Gunungan Gepak terdiri dari empat puluh buah keranjang yang diisi kue-kue kecil yang berwarna merah, biru, kuning, hijau dan hitam
  • Gunungan Kutug/Bromo juga berisi kue-kue namun dipuncaknya diberi lubang
  • Gunungan Lanang tediri dari rangkaian kancang panjang, cabe merah, telur itik dan ketan serta puncaknya ditancapi kue dari tepung beras yang disebut Mustaka
  • Gunungan Wadon yang terdiri dari kue-kue kecil dan ketan
  • Gunungan Pawuhan yang bentuknya mirip dengan Gunungan Wadon namun pada puncaknya ditancapi bendera kecil berwarna putih.
 Pelaksanaan Upacara Grebeg

Tradisi Grebeg adalah sebuah budaya yang istimewa yang dimulai dengan Parade Prajurit Keraton Yogyakarta. Di ketahui setidaknya ada sekitar delapan kelompok prajurit yakni Wirobrojo, Daheng, Patangpuluh , Jagakarya, Prawirotama, Ketanggung, Mantrijero, Nyutra, Bugis serta Surakarsa.

Parade tersebut keluar secara bertahap dari Siti Hinggil yang kemudian melewati Pagelaran Keraton untuk menuju ke Alun-alun Utara Yogyakarta. Mereka membentuk formasi barisan yang khas lengkap dengan pakaian kebesaran prajurit, membawa senjata khusus, panji-panji dan memainkan alat musik.

Parade tersebut kemudian dilanjutkan oleh barisan panglima keraton atau yang dikenal dengan Manggala Yudha. Terakhir adalah barisan prajurit yang tersisa yang mengiringi keluarnya Gunungan dari Siti Hinggil.

Kedatangan gunungan di Alun-alun Utara disambut dengan Salvo atau tembakan serentak sejumlah senapan sebagai tanda penghormatan. Selanjutnya seluruh prajurit akan ikut mengiringi gunungan menuju Masjid Gedhe Kauman untuk didoakan oleh penghulu masjid.

Setelah prosesi tersebut, gunungan diturunkan dan disambut oleh seluruh Masyarakat yang hadir. Mereka berebut dan mengambil makanan apa saja yang tersusun dalam gunungan. Ramainya pengunjung yang berebut makanan didasari oleh keyakinan masyarakat akan keberkahan dari makanan yang ada di gunungan.

Ada juga yang meyakini bahwa beberapa jenis makanan yang ada, apabila ditanam di sawah akan menjadikan tanah dari sawah tersebut menjadi subur dengan harapan hasil panen akan menjadi lebih baik.

Sumber:



No comments:

Post a Comment